Indonesia Terdapat di Mana-mana |
Karya lukis Ami Amongsari bagaikan kilas balik pada tanah airnya Indonesia, yaitu melalui imaginasi yang senantiasa berubah. Hidup terpisah dari Indonesia, dari kampung halamannya, seolah-olah menjadi sebuah katalisator bagi proses berkaryanya.Ketika Ami Amongsari menempuh ujian penghabisan dalam rangka studinya di Universitas Seni Alanus di Alfter/Jerman, ia memilih sebuah tema yang jelas berkaitan dengan akar-akar budayanya, sekaligus akar-akarnya dalam berseni: Kehidupan arkais sebuah suku Indonesia di Kalimantan, yakni suku Dayak, khususnya kehidupan di "rumah-panjang" (rumah adat). Ketika masih kuliah, Amiasih memang melawat ke Kalimantan, dan selama beberapa bulan hidup bersama komunitas Dayak yang masih tinggal di rumah-panjang. Pengalaman yang ia timba ketika itu, menjelma menjadi lukisan-lukisan yang mengesankan. Ia melukis sebuah siklus, di mana ia berhasil menyublimasikan pengalaman pribadi dan kesan-kesan subyektif, sehingga menjelma karya berisikan motif-motif arkais dan berlaku umum. Berbeda dengan lukisannya yang sebelumnya, yang kebanyakan didominasi oleh tema lanskap, dalam siklus Kalimantan ini manusia lah (atau kelompok manusia) yang menjadi pusat perhatian. Maka, ruang-lukis ditransformasikan menjadi ekspresi dari energi yang mengalir di antara manusia. Menurut Ami, ruang-warna yang menyatupadukan sosok manusia dalam lukisannya, bukanlah ruang nyata di sekeliling rumah-panjang itu. Karena di situ tak terdapat banyak warna, misalnya tak ada juga bunga berwarna-warni. Warna-warna dalam lukisannya sebenarnya menjadi petanda dari apa yang saling menhubungkan orang-orang Dayak, yaitu kerukunan dan gembira-jiwa yang introver. Bagi orang Eropa komposisi warna seperti itu memang bagaikan pandangan ke sebuah surga yang telah hilang.
Salah satu lukisan terpenting dalam Siklus Kalimantan dikomposisikan secara simetris. Pandangan kita seolah mengikuti kelompok manusia berwarna-warni melewati ambang pintu rumah-panjang yang ada di pusat lukisan itu. Berkembanglah nada yang terbentuk dari nuansa warna yang terang dan gelap, dingin dan hangat. Di sisi kiri dan kanan terdapat tameng berwarna tanah yang menguatkan kesan nada itu. Tameng itu, bersama dengan semacam balok horisontal bermotifkan kepala ular di bagian atas lukisan itu, bagaikan bingkai yang mereduksikan kesan tiga dimensi. Dengan pengubahan ke dua dimensi itu, ruang cenderung menjadi ruang-jiwa.
![]() |
Perlu dicatat, bahwa langkah mengubah ruang tiga dimensi menjadi ruang dua dimensi - sesuatu yang sering terjadi dalam seni lukis Eropa pada pertengahan pertama abad lampau - kini dipilih seorang pelukis bukan Eropa dan berasal dari Indonesia, yang telah memilih hidup di Jerman. Yakni keterbalikan dari apa yang dilakukan cukup banyak pelukis Eropa, yang melarikan diri dari kemuraman Utara dan mencari terangya alam tropis dalam harapan di sana akan menemukan apa yang sebelumnya telah mereka cari di kanvas. Sebutkan saja Paul Gauguin dan Polinesia. Sedangkan bagi Ami Amongsari, pindah dari Indonesia ke Jerman, yang berarti pindah dari iklim, juga suasana sosial yang hangat ke "exile" Jerman yang dingin, kiranya menjadi katalisator untuk dapat memandang tanah airnya, termasuk suasana rumah-panjang, dengan mata baru dan dari posisi yang jauh.
Jochen Breme |